Bahagialah... Nikmati setiap peristiwa dalam hidupmu .....Hidup.... terlalu singkat untuk menyampah kebencian.... Tertawalah ketika kamu bisa.... Maafkanlah sebagaimana yang seharusnya kamu lakukan... Dan... Lepaskanlah apa yang tidak dapat kamu ubah.


Mengapa Guru harus takut dikriminalkan?

Kekerasan di Sekolah.

Kekerasan di Sekolah dapat dilakukan oleh sesama siswa ataupun oleh guru yang menjadi pengajarnya. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik ataupun kekerasan psikologis. Kekerasan yang dilakukan dilingkungan Sekolah, menjadi tanggung jawab sekolah untuk menyelesaikannya, dalam hal ini yang memiliki kewenangan tertinggi di sekolah adalah Kepala Sekolah. Dinas Pendidikan melakukan pengawasan dan mengambil alih kewenangan Kepala Sekolah dalam membuat keputusan apabila kemudian Kepala Sekolah tidak memiliki kecakapan untuk mengambil keputusan yang dapat memberikan keadilan bagi pelaku kekerasan dan korban kekerasan di Sekolah.

Namun apabila kemudian Kepala Sekolah menilai tindak kekerasan telah melampaui batas kewajaran dan perlu adanya investigasi yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian, maka Kepala Sekolah dapat menyerahkan peristiwa kekerasan tersebut untuk ditindaklanjuti secara hukum pidana atau perdata.

Beberapa kasus kekerasan oleh guru yang dikriminalkan hingga mendapat vonis penjara telah memberikan efek ketakutan bagi para guru yang buruk maupun para pendidik lainnya. Rasa takut yang berlebihan kemudian membuat mereka melakukan pembenaran tindakan dengan membuat surat perjanjian seperti ini, dan menghianati cita-cita pendidikan untuk menjadikan generasi kurang ajar menjadi terpelajar, membuat belum tahu menjadi berpengetahuan, merubah kebebalan menjadi kesadaran.

Guru dan Sekolah yang gagal paham;
foto: 
sumber 
Mereka (guru & sekolah umum) menjadi gagal paham. Kekerasan bukanlah cara yang sesuai untuk mendidik. Kekerasan hanya akan memberikan dua pilihan yakni menghasilkan kekerasan baru atau gangguan kepribadian bagi objek kekerasan itu sendiri.

Berbeda dengan sekolah militer, sekolah beladiri dan sekolah-sekolah sejenis yang mengajarkan kekerasan untuk tujuan tertentu. Siswa-siswa di sini tidak menerima kekerasan sebagai intimidasi kekuatan yang harus disikapi dengan kepasrahan. 

Sebaliknya, mereka belajar bahwa kekerasan harus dilawan dengan cara menghindar, menakis dan meredam kekerasan tersebut sehingga menjadi tidak membahayakan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan yang harus dilindungi.

Kekerasan tidak membangkitkan rasa hormat ataupun kemandirian. Sebaliknya seperti keadaan metal yang tengah dialami oleh para guru sekarang, kekerasan hanya menghasilkan rasa takut, dan rasa takut membuat seseorang selalu tergantung pada kekuatan atau kuasa diluar dirinya; bukan rasa percaya diri yang menjadi syarat dari kemandirian.

Berbeda jika suatu sekolah, kepala sekolah, dinas pendidikan, kementrian pendidikan dan pelaku-pelaku pendidikan berisi manusia-manusia yang memiliki kompetensi dalam pendidikan yang sebenarnya.  Para pelaku pendidikan akan menanggapi kriminalisasi pendidikan dengan mengevaluasi tindakan pemikir pendidikan#1, melarang segala jenis kekerasan fisik maupun psikologis, menarik guru-guru yang mengancam memberikan nilai rendah jika siswa tidak patuh (karena masih rendahnya kecerdasan emosional), padahal siswanya memiliki kreatifitas dan kecerdasan intelektual yang tinggi; dan mengembalikan guru-guru bermasalah tersebut untuk dididik kembali hingga memiliki kompetensi yang seharusnya.

Selain mengevaluasi, kriminalisasi pendidikan dapat dicegah dengan membuat SOP (standart Operational Procedure) tentang kegiatan belajar mengajar yang mengatur kewenangan pemikir pendidikan, hak dan kewajiban guru, siswa dan sekolah, keterlibatan orang tua dan lain-lain yang sifatnya tidak mengebiri kreatifitas, kecerdasan dan hak individu#2 dengan batas-batas norma sesuai peradatan setempat.

Disisi lain, perlu dilakukan mediasi antar pimpinan tertinggi di institusi Pendidikan, Polisi, ataupun Pengadilan, agar terjadi kesepakatan dalam menyiasasti sistem hukum yang buruk dimana untuk dapat memproses secara pidana/perdata suatu peristiwa kekerasan di sekolah, surat keterangan dari Kepala Sekolah atau Kepala Dinas diatasnya, mutlak menjadi syarat yang menyatakan bahwa penyelesaian secara kekeluargaan tidak dapat menyelesaikan masalah sehingga perlu campur tangan pengadilan untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya.

Sistem Pendidikan yang Gagal

Terbitnya surat perjanjian sebagaimana yang dilakukan beberapa sekolah, telah menambah bukti bahwa sistem pendidikan di Indonesia terus terpuruk dalam kegagalan. Korupsi yang merajalela, agama-agama yang dimanipulasi untuk berbagai kepentingan busuk beberapa manusia dan kelompoknya dengan memelintir ajaran hakikinya yakni perbuatan baik antar sesama manusia, alam dan Yang Maha Adil, dan rendahnya kecerdasan emosional dari banyak masyarakat Indonesia sehingga mereka mudah di adu dan di pecah-pecah adalah cacad yang menjadi permanen dari sistem pendidikan di Indonesia.

Daftar panjang kegagalan sistem pendidikan di Indonesia tidak akan selesai ditulis dalam waktu 70 tahun lebih sejak Negara Indonesia berdiri. Namun Solusinya bisa sangat singkat jika para pemikir pendidikan, praktisi pendidikan dan institusi pendidikan lebih mengedepankan semangat mencerdasakan bangsa, bukan semangat bisnis dan ingin dihormati dengan cara menebar kekerasan.

Kegagalan Sistem Hukum  dan Penyimpangan  Aplikasinya Di Indonesia.

Sistem Hukum yang gagal dan penyimpangan aplikasinya adalah sebab yang paling mengerikan bukan hanya bagi para Guru, tetapi juga semua warga negara yang tidak mampu membeli hukum. 

Ya, membeli hukum adalah rahasia umum dimana beberapa warga negara "tajir#3"  dapat dengan mudah membayar hukum agar kasusnya tidak di proses di kepolisian, atau mendapatkan vonis serendah-rendahnya sampai bebas di pengadilan, atau mendapat perlakuan istimewa di penjara sehingga kalau bisa hanya papan namanya saja yang di penjara, menerima remisi dan grasi untuk pemulihan status agar dapat cepat beredar kembali dimasyarakat.

Bagi guru yang bergaji pas-pasan, apalagi yang berstatus honorer, mencukupi biaya untuk kebutuhan keluarga adalah merupakan perjuangan tambahan selain harus menyiapkan materi-materi pembelajaran bagi siswa-siswanya agar berpreastasi. Beberapa Guru, bekerja sama dengan sekolahnya bahkan "berjuang" dengan memikirkan barang/jasa apa yang bisa "dijual" di sekolah, mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari siswa yang harus patuh dan tidak boleh membantah, demi kebutuhan mencapai gaya hidup yang dipamerkan para "tajir".

Idealnya, semua kesalahan cara mendidik yang dilakukan oleh sebagian guru yang buruk, dapat dilaporkan orang-tua siswa ke pihak sekolah, dengan tembusan kepada dinas pendidikan mulai dari jenjang kabupaten/kota, propinsi, hingga kementrian dan kemudian harus segera ditindak lanjuti untuk mendapatkan solusi dimana keputusan terakhir untuk menetukan kriminal atau bukan dari tindakan guru tersebut, ditentukan oleh lembaga-lembaga tersebut. Jika tidak termasuk dalam tindakan kriminal, maka guru tersrbut harus mendapatkan sangsi administratif hingga pemecatan apabila mengulang kesalahan dari cara mendidiknya yang tidak kunjung mendapat perbaikan dari periode ke periode.


Catatan:
#1 pemikir pendidikan = istilah yang dcb gunakan sebagai pengganti istilah yang dirasa kurang tepat: tenaga pendidikan.
#2 hak individu = misalnya, memotong rambut siswa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak individu karena rambut tidak berkorelasi dengan gangguan yang menurunkan kecerdasan dan kreatifitas.
#3  tajir = istilah yang dcb gunakan untuk menyederhanakan istilah stara ekonomi tinggi, orang kaya baru, borju atapun the Rich.
>

0 komentar:

Posting Komentar

Daya Cipta Budaya

Jika kebudayaan dirumuskan sebagai segala apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia, maka seni merupakan unsur yang sangat penting yang memberi wajah manusiawi, unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia pada kebudayaan.

Kebudayaan akan terus berkembang ketika manusia mempunyai kebebasan berpikir untuk mencapai kebebasan menyatakan pikiran.

Sering orang mengira bahwa sumber budaya sebuah bangsa merupakan sumber yang tidak akan habis, namun punahnya benda-benda budaya –baik yang hancur atau rusak akibat kurangnya kepedulian maupun yang dilarikan keluar negeri– adalah awal sebuah bencana dimana generasi hari ini dan generasi yang akan datang akan kehilangan sumber-sumber budaya mereka. Selain warisan budaya masa lampau yang hilang, iklim untuk mengembangkan daya cipta dan imajinasi –melingkupi seluruh segi kehidupan manusia dan tidak terbatas hanya pada seni saja– jika tidak terus menerus diperkuat dan diperluas maka sumber-sumber budaya di bidang seni, sains, tehnologi, kemasyarakatan, ekonomi dan politik akan menipis sehingga suatu bangsa akan berada dalam kondisi kehilangan jati diri dan pada akhirnya hanya akan menjadi cerita bahwa bangsa tersebut pernah ada.

'
 

©2009-2016 | Daya Cipta Budaya Media | template by Aubmotion | Disclaimer | Privacy