Menuding faham kapitalis sebagai sumber kemelaratan akhir-akhir ini nampaknya menjadi isu empuk para politisi baik yang tengah berkuasa maupun yang tengah menjajaki kekuasaan untuk mendapatkan dukungan publik. Sebagaimana faham komunisme yang lebih dahulu di stempel sebagai bahaya laten yang akan dapat meruntuhkan Republik ini, isu faham-faham ini cukup efektif untuk menyulap pandangan masyarakat bahwa musuh-musuh Republik ini bersumber dari luar negerinya.
Seperti misalnya Mayday (hari buruh) yang pada awal bulan Mei 2011 ini, mengerakkan para buruh turun ke jalan membawa poster-poster anti kapitalis. Ironinya, para buruh yang menjadi robot bergerak tidak memahami bahwa Mayday sebenarnya berasal dari negara-negara kapitalis. Kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana alat-alat produksi dimiliki secara pribadi (swasta) dan menjadi dominan di Barat setelah runtuhnya Feodalisme. Sedangkan komunis adalah gerakan sosial politik yang bertujuan untuk menggulingkan sistem kapitalis dalam revolusi sosial luas. Perseteruan kedua faham luar negeri ini dengan dibumbui isu adanya konsep negara agama (non sekuler) telah menjadi ramuan jitu untuk mengalihkan perhatian publik dari fakta keadaan Republik yang masih terjerat kolonialisme yang kini dilakukan justru oleh sebagian warga Republik yang menjadi elite politik.
Mungkin istilah Neo kolonialisme telah dipergunakan beberapa kalangan untuk menggambarkan penyebaran kapitalisme ke negara lain, sehingga untuk menggambarkan keadaan yang menimpa Republik ini, akhirnya penulis menggunakan istilah Post-Colonialism atau pasca kolonialisme. Penggunaan istilah disini akan menjadi sangat penting dalam merubah mindset masyarakat mengenali musuh sebenarnya dari penyebab kemelaratan dan kerusakan di Republik ini. Gerakan anti post-colonialism dapat menjadi propaganda efektif bagi para penggerak perubahan yang benar-benar berniat kembali pada dokumen dan cita-cita luhur ketika Republik Indonesia didirikan.
Penerapan hukum kolonial yang masih terus berlanjut, korupsi, kolusi dan berbagai penyimpangan oleh para elit politik, pembodohan secara sistematis, meluasnya kemiskinan, kesenjangan sosial yang semakin melebar, rusaknya hutan, laut serta daratan yang dieksploitasi dan dilarikan ke luar negeri, mengekspor SDM sebagai budak di negeri orang dan melabeli sebagai pahlawan devisa agar tampak bergengsi, hilangnya wibawa dimata Internasional, mengecilkan makna kekayaan budaya dan sumber-sumber kebudayaan, serta masih sederet panjang pembusukan lainnya adalah pola-pola yang dilakukan penjajah pada era kolonialisme dan berlanjut dimasa post-colonialism. Jika mengurai sejarah dengan benar, setelah melepaskan diri dari kolonialisme, President Indonesia pertama yang dituduh banyak kalangan membawa Republik ke faham komunis sebenarnya dapat kita maklumi sebagai upaya mencari jati diri bangsa untuk dapat mempertahankan (survival) kedaulatan Republik. Setelah kejatuhannya, president Indonesia kedua kemudian merintis upaya mengembalikan cengkraman kolonialisme, yang di pelajarinya ketika menjadi serdadu KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger ) sehingga mampu berkuasa sangat lama dan membangun kader-kader penerus hingga kini. Orde ini dan selanjutnyalah sebenarnya yang dapat disebut sebagai post-colonialism.
Gerakan Anti post-colonialism dapat sangat efektif untuk menyadarkan bangsa ini bahwa kita tidak perlu memaafkan bangsa kita sendiri yang terlibat dalam post-colonialism. Anti post-colonialism tidak perlu berkompromi dengan propaganda palsu jasa-jasa para post-colonialism, namun sebaliknya, meminta perrtanggung-jawaban atas runtuhnya rasa percaya diri (confident) bangsa untuk menjadi masyarakat yang berdaulat. Membangun gerakan anti post-colonialism akan mampu memfokuskan arah dalam membersihkan para post-colonialism dengan dukungan penuh rakyat Indonesia yang jenuh dengan ketidak-pastian. Mengajak rakyat mempelajari dan mengenali para post-colonialism dapat membangkitkan kesadaran dan kebersamaan menggalang perubahan kearah yang benar. /cb/
>

0 komentar:
Posting Komentar