Bahagialah... Nikmati setiap peristiwa dalam hidupmu .....Hidup.... terlalu singkat untuk menyampah kebencian.... Tertawalah ketika kamu bisa.... Maafkanlah sebagaimana yang seharusnya kamu lakukan... Dan... Lepaskanlah apa yang tidak dapat kamu ubah.


Sajak Palsu

Seorang anak berusia 8 tahun tanpa sengaja membaca Sajak Palsu – Agus R Sarjono, Suatu cerita dari Negeri Angin, Aksara Indonesia, Yogyakarta 2001 “....mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu............. maka berdatanganlah mereka............ menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu... masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu.... Masyarakatpun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.... Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.” – ketika mencari-cari bahan untuk suatu perlombaan mendongeng yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional di tingkat kota Bandung pada awal April 2011 lalu.

Sajak itu sempat mengganggu pikirannya karena pengalaman terdahulunya ketika mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh institusi pemerintah berlabel pendidikan nasional. Pada lomba terdahulu, ia menyaksikan penampilan semua peserta lomba yang tampak gugup memasuki mimbar lomba. Mengamati setiap penampilan mereka dan mencatatnya dengan rapi di ingatannya. Setibanya di rumah ia mengamati hasil video penampilan dirinya didalam lomba yang pertama kali ia ikuti, setelah puluhan penampilannya di depan publik yang kerap diapresiasi seniman, budayawan, pejabat dan masyarakat hingga keluar daerahnya dan ibu kota, atas dasar undangan komunitas-komunitas masyarakat yang telah mengenal kapabilitasnya.

Ke-rileks-annya, ketajaman intonasi, penguasaan naskah hingga ekspresinya yang terekam di video ia bandingkan dengan catatan-catatan ingatan dari penampilan peserta lainnya, membuat dirinya merasa yakin bahwa ia akan segera mendengar kabar sebagai pemenang pertama. Hari berganti hingga informasi disampaikan bahwa ia berada di urutan ke-2, membuatnya penasaran untuk menilai berulang-ulang penampilannya yang terekam dan meminta bantuan setiap orang untuk mencari bagian-bagian yang dapat disalahkan. Namun, orang-orang hanya menemukan keunikan dari pengucapan hurup ‘R’ yang tidak seperti lidah melayu pada umumnya.

Ia bertanya pada ayahnya apakah lomba kali ini bagian dari lomba palsu seperti kepalsuan-kepalsuan yang tertulis di dalam sajak palsu tersebut. Sang ayah terdiam cukup lama dan akhirnya menyemangati anaknya untuk tetap tampil sebaik-baiknya tanpa harus peduli menang atau kalah, palsu atau tidak karena semua kemungkinan dapat terjadi di dalam berbagai kepentingan.

Tampil sebaik-baiknya pada akhirnya menjadi kunci penampilannya. Ia terlibat dalam lomba tersebut tanpa beban. Mereka yang mengantar dan menyaksikan penampilannya tampak tersenyum puas mendengar komentar-komentar kekaguman dari pengantar peserta lainnya yang juga menyaksikan dan membuat ramalan. Informasi yang disampaikan kemudian bahwa ia menempati urutan ke-3, nampaknya kini tidak mampu menghapus senyum dibibirnya karena ia tetap merasakan kemenangan yang sebenarnya, kemenangan dalam memaknai suatu kompetisi. Kemenangan dalam menerima realita yang tidak sejalan dengan harapan-harapannya. Kemenangan atas kesiapan dirinya sehingga tetap dapat menyajikan penampilannya yang terbaik. Kemenangan untuk tidak terjebak dalam pikiran-pikiran palsu. [Semesta Aubrey]
>

0 komentar:

Posting Komentar

Daya Cipta Budaya

Jika kebudayaan dirumuskan sebagai segala apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia, maka seni merupakan unsur yang sangat penting yang memberi wajah manusiawi, unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia pada kebudayaan.

Kebudayaan akan terus berkembang ketika manusia mempunyai kebebasan berpikir untuk mencapai kebebasan menyatakan pikiran.

Sering orang mengira bahwa sumber budaya sebuah bangsa merupakan sumber yang tidak akan habis, namun punahnya benda-benda budaya –baik yang hancur atau rusak akibat kurangnya kepedulian maupun yang dilarikan keluar negeri– adalah awal sebuah bencana dimana generasi hari ini dan generasi yang akan datang akan kehilangan sumber-sumber budaya mereka. Selain warisan budaya masa lampau yang hilang, iklim untuk mengembangkan daya cipta dan imajinasi –melingkupi seluruh segi kehidupan manusia dan tidak terbatas hanya pada seni saja– jika tidak terus menerus diperkuat dan diperluas maka sumber-sumber budaya di bidang seni, sains, tehnologi, kemasyarakatan, ekonomi dan politik akan menipis sehingga suatu bangsa akan berada dalam kondisi kehilangan jati diri dan pada akhirnya hanya akan menjadi cerita bahwa bangsa tersebut pernah ada.

'
 

©2009-2016 | Daya Cipta Budaya Media | template by Aubmotion | Disclaimer | Privacy