
Menjadi polisi adalah menjadi “Tuhan”. Beberapa contoh ke-maha-an (oknum) polisi adalah, Ia memiliki keistimewaan untuk melanggar (atau bahasa lainnya: pengecualian?) peraturan lalu lintas atau peraturan” lainnya yang diluar pengetahuan penulis untuk menegakkan peraturan. Bahkan seorang (oknum) militerpun dapat diseret untuk suatu intrograsi jika tidak mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan kesatuaannya, kecuali sebaliknya, jika ikatan kesatuaannya cukup kuat, bisa saja suatu sektor polisi digempur suatu bataliyon militer sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa daerah yang cukup jauh dari ibukota. Jika mengukur kemampuan dan peralatan tempur, militer sekilas nampak perkasa, namun dari sisi kewenangan, hanya seorang polisilah yang memiliki kewenangan untuk menangkap, menentukan menjadi didakwa dan menyusun bukti-bukti agar dakwaannya dapat meyakinkan jatuhnya suatu vonis, sehingga dari segala ukuran, menjadi polisi berarti menjadi Tuhan manusia yang dapat mengatur nasib seorang manusia bahkan juga mungkin hewan dan tanaman, karena ada hewan atau tanaman tertentu yang tidak diijinkan tumbuh atau hidup dengan alasan tertentu, juga dimusnahkan oleh polisi.
Suatu peristiwa yang baru lalu dialami kontributor /DCB/, nampaknya cukup menggelitik untuk diinformasikan sehingga artikel ini kemudian tertulis sebagai bahan perenungan publik.

Suatu peraturan lalu-lintas yang cukup aneh (karena korelasinya dengan suatu kecelakaan lalulintas tidak dijelaskan, dari sisi energi justru merupakan pemborosan) telah dirilis sekitar dua tahun lalu oleh negara dimana para pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama (didefinisikan sebagai lampu besar, namun tidak dijelaskan besar dayanya? Besar ukuran bola lampunya?),namun inilah yang kemudian menjadi perangkap, karena penggunaan lampu disiang hari, jika ingin terlihat menyala. berarti harus dengan daya yang besar atau warna yang berbeda dari warna cahaya matahari. Lagipula rasanya sulit pengadilan menguji bahwa pengguna menyalakan atau mematikan lampu kecuali dari keterangan yang didakwakan polisi secara sepihak karena kesaksian pengakuan sebenarnya adalah alat bukti yang tidak dapat menjadi alat bukti sekalipun dibawah sumpah (yang juga harus dipertanyakan kesungguhannya).

Entah direncanakan atau tidak, kontributor /DCB/ yang menggunakan sepeda motor, pada beberapa hari sebelumnya sempat hendak dihentikan para petugas, namun pada saat itu, petugas pelaksananya cukup memperhatikan dengan seksama bahwa lampu utama sepeda motor menyala sehingga kemudian memberi isyarat untuk terus melaju. Namun pada Tgl. 16 agustus 2011 lalu, atau hari ke 16 bulan puasa nampaknya polisi tengah sibuk membagi-bagikan surat bukti pelanggaran (tilang) termasuk kontributor /DCB/ yang tidak luput menjadi sasaran. Kali ini petugas pelaksana yang menghentikan sepeda motor langsung meminta SIM dan STNK lalu menyerahkan pada petugas lainnya yang bertugas menulis surat tilang. Perdebatan sempat terjadi karena lampu utama sepeda motor kontributor /DCB/ sebenarnya menyala namun karena dayanya tidak cukup besar sehingga di tempat terang yang bersaing dengan cahaya matahari, cahaya lampu tidak begitu jelas dan perlu tempat teduh untuk dapat melihatnya dengan jelas. Petugas penulis tilang bersikukuh bahwa lampu sepeda motor tidak menyala tadi, namun ketika kontributor /DCB/ meminta kejelasan pendapat petugas yang menghentikan sepeda motor, petugas tersebut meninggalkan perdebatan dengan seolah-olah tengah sibuk mengatur atau memeriksa kendaraan yang tengah melaju. Dan perdebatan berakhir dengan dikembalikannya STNK serta selembar surat tilang sebagai pengganti SIM yang ditahan.

Peraturan menyalakan lampu disiang hari, pada suatu waktu akan menjadi perangkap bagi para pengendara sepeda motor untuk menyediakan anggaran lebih jika polisi tengah mengobral surat tilang. Berdasarkan wawancara dengan para pengendara yang tengah mengantri sidang pelanggaran lalu lintas, para pengendara sepeda motor tidak mampu menjelaskan (dan selama ini, kesempatan untuk melakukan pembelaan pada pengadilan pelanggaran lalu-lintas, juga sulit terjadi) di pengadilan sekalipun ketika seorang oknum polisi mungkin saja bekerja sama dengan oknum polisi lainnya (jika diperlukan) untuk menjadi saksi dalam mendakwa pengendara sepeda motor sebagai pelaku pelanggaran (menulis surat tilang).
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pengendara sepeda motor untuk tidak sampai ke pengadilan karena jika beracara di pengadilpun, energi dan waktu yang terbuang akan menjadi semakin berlipat-lipat mulai dari besarnya daya yang dibutuhkan suatu lampu untuk dapat menyinari siang hingga kalori yang dibutuhkan untuk berdebat.
Hal berbeda dialami kontributor /DCB/, setelah tiba waktu sidang sebagaimana yang tertulis di surat tilang, ternyata berkas tilang tidak sampai ke pengadilan sehingga harus diproses di sektor polisi yang melakukan tilang. Setelah mendatangi sektor yang dimaksud, kontributor /DCB/ mengajukan pertanyaan terkait kejadian tersebut namun dijawab petugas dengan singkat “suratnya diserahkan dulu disana, nanti berkasnya dicari pak”. Setelah menunggu tidak berapa lama, kontributor /DCB/ mendapat panggilan di meja seorang petugas yang sangat ramah namun juga tampak sibuk melayani tamu yang tengah duduk di satu-satunya kursi yang ada dihadapannya dan langsung menyambut dengan mengeluarkan SIM serta meminta pembayaran sejumlah uang tilang. Kontributor /DCB/ tampaknya kehilangan kata-kata sehingga memutuskan langsung membayar tanpa bertanya panjang lagi. Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban melintas dipikirannya, mungkinkah uang yang dibayarkan ini disetor ke kas negara?
Siapa yang akan menindak Tuhan? (ironi dari suara rakyat, suara Tuhan) Mungkinkah Tuhan salah? Adalah pertanyaan yang sama sulitnya untuk menjawab siapa yang akan menindak polisi?. Mungkinkah polisi dapat menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran yang mungkin merupakan bentuk loyalitas (berbeda dengan Susno Duadji yang tidak loyal)?. Kewenangan dan diskresi secara personal didukung institusi yang menanamkan loyalitas anggotanya untuk saling melindungi kepentingan institusinya membuat kepolisian sangat mudah digunakan kekuasaan untuk melakukan tindakan tanpa suatu pelanggaran atau pidana.
Meskipun ada Propam, namun Propam hanyalah bagian dari kepolisian dan hanya akan menindak pelanggaran disiplin secara internal. Ya, rasanya publik perlu mencermati ini dengan seksama, sehingga dapat mendorong negara untuk segera membentuk suatu lembaga baru dan undang-undangnya yang berfungsi sebagai penindak (oknum) polisi namun bukan bagian dari kepolisian. Suatu lembaga yang beranggotakan masyarakat non militer dan non polisi yang dapat menangkap, mendakwa dan menyusun bukti” bahkan dapat mengadili dan memvonis oknum polisi. Untuk menjalankan penangkapan, lembaga ini tetap dapat memanfaatkan militer atau lembaga polisi itu sendiri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisi HAM dan lain-lain hanyalah pemborosan yang tidak menyelesaikan apapun kecuali memperpanjang birokrasi dan kekuasaan. Mungkinkan negara ini hanya sedikit mempunyai orang-orang cerdas sehingga terus menerus terpuruk? Jika ada banyak orang-orang cerdas, mari kita galang gagasan ini dapat terealisasikan sehingga mampu menjadi solusi cerdas mengatasi carut marut negara yang terus dirongrong oleh pihak yang tidak bertanggung jawab secara keseluruhan baik di eksekutif, yudikatif, legislatif, kepolisian dan militer. /DCB/
>

0 komentar:
Posting Komentar