Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan
Pasal 413 s.d. 437 KUHP adalah pasal-pasal pidana yang menegaskan pasal 2 KUHP dimana ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan suatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana). Tiap orang berarti siapa juga, baik warga negara Indonesia sendiri, maupun bangsa Asing dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, yang berbuat pidana dalam wilayah Indonesia. Dalam hal ini dikecualikan orang-orang Asing yang menurut hukum internasional diberi hak ‘exterritorialiteit’.
Perbuatan dengan melampaui batas kekuasaannya, atau menghilangkan barang bukti, perbuatan sewenang-wenang dan kecurangan-kecurangan pegawai negeri (terutama yang menjabat sebagai penyidik, penuntut umum atau hakim), menurut KUHP dapat dipidana, namun Undang undang RI no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 1 ayat 10 hanya menyediakan praperadilan yang memberikan wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang tersebut tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan demi tegaknya keadilan; c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan.
Hukum Acara tersebut juga mengatur siapa yang berwenang melakukan tugas penyidikan, penuntutan dan pelaksana penetapan hakim sehingga setelah melakukan proses praperadilan, penyidikan dan penuntutan pasal pidana dari kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, hanya dapat dilaporkan pada institusi yang sama, yang berwenang melakukan tugas penyidikan, penuntutan dan pelaksana penetapan hakim. Siapa yang dapat menjamin institusi ini (terutama kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sebagai pilar hukum) tidak akan melindungi pejabatnya?
Upaya Banding hingga Peninjaukan Kembali (bahkan Mahkamah Konstitusi yang seringkali juga tidak bergigi) adalah prosedur panjang dari bilah pisau pengadilan yang dapat memotong dengan kedua sisinya, namun tidak jelas sisi mana yang seharusnya diasah kembali karena terlalu tumpul. Kecenderungan untuk mengasah sisi yang tajam dan membiarkan sisi yang tumpul semakin tumpul adalah fenomena biasa yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan jabatan semakin mencengkram kuat dan meluas.
Peradilan Rakyat
Jika KUHP telah mengakomodir pasal” pidana bagi kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, maka negara hanya membutuhkan peradilan yang berwenang melakukan tugas penyidikan, penuntutan, penetapan hakim dan pelaksana penetapan hakim bagi pejabat dari institusi” yang merupakan pilar penegakan hukum dan bahkan dapat mengawal jalannya suatu proses hukum yang dilakukan institusi hukum, mengumpulkan bukti penyimpangan, dan menindaknya tidak sebagai delik aduan. Kita sebut saja peradilan ini sebagai Peradilan Rakyat.
Tugas penyidikan, penuntutan, dan pelaksana penetapan hakim dalam Peradilan Rakyat agar tidak menyimpang dari KUHP dapat berada dalam petunjuk pengacara profesional dan akademisi di bidang hukum, namun untuk menjadi Hakim dalam Peradilan Rakyat, latar belakang Budayawan, Sosiolog dan Filsuf akan lebih dominan dari status lain. Hakim di Peradilan Rakyat dapat mencalonkan (dan hanya dalam kondisi terpaksa dapat dicalonkan rakyat) serta dipilih langsung oleh rakyat sehingga janji” pada masa kampanyenya yang disebarkan atas biaya negara dapat ditepatinya karena tidak terjadi proses jual beli syarat dan ketentuan dari pihak yang menjadi sponsor kampanye. Pengadilan Rakyat hanya berfungsi dan berwenang melakukan tugas penyidikan, penuntutan, penetapan hakim dan pelaksana penetapan hakim bagi pejabat dari institusi” yang merupakan pilar penegakan hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Pilar hukum yang tidak menjalankan fungsinya melakukan tindakan preventif dan represifpun bahkan sebenarnya dapat dipidanakan sehingga Pengadilan Rakyat dapat mendorong efektifitas institusi pilar hukum.
Menjadi Presiden dan pimpinan pemerintahan yang bersih di Indonesia adalah pekerjaan tersulit karena harus bernegoisasi dengan konspirasi” busuk yang akut. Peradilan Rakyat dapat menjadi solusi efektif membersihkan konspirasi” busuk yang akut ini, karena penegakan hukum oleh institusi pilar hukum dapat berjalan dengan semestinya tanpa ‘deal-deal kepentingan’ jika adanya supervisi Peradilan Rakyat.
Peradilan Rakyat secara efektif juga dapat meniadakan lembaga-lembaga yang terkait dengan perlindungan hak yang memboroskan anggaran negara karena tidak berfungsi memperbaiki keadaan hingga kini. Perekonomian dan pelaksanaan UUD hingga kebijakan pemerintah dapat berfungsi maksimal jika penegakan hukum dapat menjadi jaminan kepastian. Siapa berminat meng-Indonesia Raya-kan Indonesia? Mungkinkan Indonesia hanya sedikit mempunyai orang-orang cerdas sehingga terus menerus terpuruk? Apakah Indonesia hanya mempunyai Ahli” yang tidak menyajikan solusi apapun selain kemampuan mempergunjingkan issu panas di berbagai media?. /DCB/
>

0 komentar:
Posting Komentar