Agama manapun akan mengajarkan tentang mengasihi sesama dan segala kebaikan, namun agama juga dapat dipelintir oleh sebagian orang yang menjadi pemukanya untuk menghancurkan, membunuh dan mengobarkan peperangan atas nama tuhannya!. Agama seringkali dipeluk seseorang berdasarkan keturunan, bukan dasar keimanan.
Memeluk agama dengan dasar keimanan hanya sedikit dilakukan orang, karena keimanan hanya dapat tumbuh jika seseorang cukup cerdas untuk membuat keputusan. Para pemeluk agama turunan cenderung menelan mentah-mentah doktin-doktrin pemuka agama (dipelintir atau tidak) yang mengatasnamakan tuhan, nabi dan kitabnya.
Janji indah tentang surga menjadi janji ampuh untuk kepatuhan dibandingkan ancaman siksa keji di neraka. Janji-janji surga adalah harapan bagi orang-orang yang tidak mengerti tujuan hidupnya. Celakanya, hanya sedikit orang yang mengerti tujuan hidup karena sekali lagi, tujuan hanya dimiliki oleh orang-orang cerdas.
Awal Februari 2011, Pulaunesia dilanda konflik kepentingan yang mengatas-namakan agama. Para badut ramai berkomentar di media massa tentang konflik yang berdarah-darah ini tanpa satu solusipun. Namun yang cukup menarik untuk dicermati dan luput dari pengamatan para badut adalah peran polisi yang menjadi bensin dari api kemarahan tidak jelas dari para pengikut agama.
Polisi seringkali gagal mengantisipasi kerusuhan massa seperti ini (kerusuhan dimana target gerakan massa bukanlah petinggi) karena polisi mengambil peran menjadi penonton, lalu menjadi bensin dengan turut serta melakukan kekerasan ketika api kemarahan massa sudah terpercik. Tindakan lain dilakukan polisi ketika menangani demo massa pada petinggi, menghalau massa pendemo dengan kekerasan, langsung menjadi S.O.P utama, karena polisi mendapat tugas menjadi barikade penghadang. Namun karena aksi massa tersebut dilakukan tidak dengan itikad kekerasan, seringkali para pendemo kemudian dapat dibubarkan. Motto mengayomi dan melindungi hanya sebatas tulisan, dan tidak pernah diajarkan pada anggota polisi. Pistol, senapan dan pentungan adalah simbol kekerasan yang pertama disambar polisi untuk menghadapi masyarakat. Penggunaan perisai, alat pengeras suara, gas airmata dan water canon hanya menjadi cadangan perlengkapan ketika posisi terdesak. Pada beberapa kasus kecil, kekerasan polisi telah menjadi bumerang dimana gerakan massa tidak hanya dengan aksi teatrikal dan bentangan spanduk belaka namun dengan kesiapan mengantisipasi pistol, senapan dan pentungan.
Kekerasan para pengikut agama mendapat pembenaran ketika komentar-komentar para badut samasekali tidak menuduh kemiskinan dan kebodohanlah yang menjadi biang keladinya. Orang-orang miskin dan bodoh sangat mudah dikelabui untuk menegakkan dan membela kepercayaannya yang berpangkal pada tuhan, padahal seharusnya, tuhanlah yang maha segalanya yang mampu membela dan menegakan mereka. Kemiskinan dan kebodohan akibat kegagalan pejabat negara menciptakan kemakmuran dan hanya memperkaya diri sendiri menjadi dasar yang kuat terjadinya pengangguran yang memiliki waktu tanpa tujuan yang berlebihan.
Waktu tanpa tujuan yang berlebihan inilah yang menumbuhkan kesempatan bagi para penunggang surga mencekoki otak-otak kosong dengan petuah-petuah yang seolah-olah tuhan perlu perlindungan. Kemiskinan dan kebodohan membuat mereka lupa bahwa tuhan maha kuasa. Manusia seharusnya memperjuangkan kesejahteraan hidup, dan berperang melawan kemiskinan dan kebodohan.
>

0 komentar:
Posting Komentar