
Semesta, pria yang kerap dilihat wartawan selalu hadir menyaksikan penampilan Boni Avibus ini rupanya adalah ayah dari Boni Avibus. Ia lebih akrab dipanggil ka Aub oleh anak-anak yang yang tengah berlatih teater di sanggar teater Anak Negeri. Agak sulit mengorek keterangan tentang dirinya karena pria ini juga merasa kesulitan ketika ditanya tentang sukunya. Ia lebih suka menyebutkan berasal dari Indonesia karena budaya yang mengalir didalam dirinya benar-benar campur aduk antara semua suku yang ada di Indonesia baik secara garis keturunan maupun secara lingkungan tempatnya tumbuh dewasa. “Tanah tempatku tinggal adalah asalku” ucapnya diplomatis. Pria yang menyebut desain multimedia sebagai hobi yang menghasilkan pendapatan ekonomi ini, kabarnya juga seorang manajer sebuah perusahaan outsourcing yang menjalankan operasionalnya di sebuah gedung di Jl. Braga, Bandung.
Ketika percakapan beralih pada masalah kebudayaan, barulah ia tampak antusias memberikan pendapatnya dimana ia cukup merasa prihatin dengan perkembangan budaya yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, kebudayaan tidaklah sebatas berkesenian dan karya seni, tetapi semua yang berasal dari pemikiran manusia adalah kebudayaan. seni adalah unsur yang memberi sublimasi (keluhuran) pada keindahan dan kehidupan. Tatanan hukum, ekonomi, sosial masyarakat, dan semua kegiatan yang dilakukan adalah suatu kebudayaan. Kebudayaan berkaitan erat dengan penampakan alam sehingga ketika para petinggi bangsa ini lebih bercermin pada bangsa lain yang nyata-nyata berbeda penampakan alamnya, maka mereka sebenarnya sedang memusnahkan kekayaan budaya yang berasal dari bangsa ini. Sampai dengan saat ini para ahli hukum tidak pernah berusaha untuk mengkaji hukum adat yang telah ada sejak para pendahulu kita, untuk menjadi acuan hukum yang berlaku di masyarakat. Kekuatan tatanan hukum yang berasal dari budaya Eropah dan Arab berkembang biak dengan liar karena diserap mentah-mentah sehingga menggiring pengerdilan kebudayaan setempat. Hukum adalah asas hidup yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Hukum adalah produk budaya dari suatu bangsa yang terikat pada penampakan alamnya. Jika negeri ini tidak lagi mempunyai asas hidup yang berasal dari dirinya sendiri, pada akhirnya kita bisa meramalkan bahwa bangsa ini akan benar-benar kehilangan jati-dirinya yang sesungguhnya. Bangsa ini akan selalu memandang apapun yang berasal dari luar dirinya sebagai sebuah keluhuran dan terus dicengkram rasa rendah diri. Sebuah pertanyaan ironi “anugrah atau azab kah kita dilahirkan di negeri ini?” yang seringkali dilontarkan oleh beberapa teman yang pesimis memperjuangkan perubahan hingga diujung usia, seperti menyadarkanku untuk meraih anak-anak sebagai generasi berikutnya dari negeri ini agar menjadi generasi yang mampu mengadaptasi kebudayaan sendiri, beradaptasi dengan kebudayaan global dan membangun keyakinan serta kepercayaan diri bahwa tidak ada suku bangsa yang lebih tinggi derajatnya selain suatu bangsa dengan pribadi-pribadi yang dekat dengan alamnya.
Terkait dengan aktifitas kebudayaan dan anak-anak, pria ini juga menyatakan bahwa ia kerap memotong uang belanja rumah tangga untuk membiayai upaya-upaya yang dilakukan dalam mendorong eksistensi Daya Cipta budaya, sebuah kegiatan sosial budaya yang juga mengelola kegiatan sanggar teater bernama Teater Anak Negeri. “Aku pernah mengenal seni teater 20 tahun yang lalu, namun karena pilihan ekonomi (pekerjaan yang memberikan penghasilan) pada akhirnya aku meninggalkan ranah teater”. Menurutnya, ia kembali menggeluti ranah teater dan kebudayaan justru karena eksistensi Boni Avibus memaksanya untuk mengorbankan pilihan ekonomi yang dulu dipilihnya. “Boni Avibus dengan usianya yang begitu muda dan banyaknya support dari kalangan seniman dan budayawan nasional mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjadi inspirasi bagi anak-anak lainnya dalam mengenali dan mencintai kebudayaan bangsanya sendiri, ia menyerap pengetahuan di ruang-ruang publik dengan berbagai komunitas, memiliki kebebasan untuk menterjemaahkan karya-karya sastra dan mengekspresikannya dengan bimbingan mereka, masa aku sebagai orang tuanya ga berani berkorban?”.
Pilihan mendirikan sanggar teater juga didasari pengalamannya saat memperkenalkan Boni Avibus pada ranah seni ini dimana menurutnya banyak para penggiat teater belum menganggap perlu memperkenalkan bidang seni ini pada anak-anak usia dini. Selain naskah-naskah teater yang juga jarang dikonsep untuk anak-anak, para penggiat teater yang mencoba menggarap teater remaja, mengalami banyak kendala dalam melakukan pendekatan pemain dan penonton sehingga mereka hanya mampu menyutradarai karya-karya dalam bentuk kabaret dan kehilangan gagasan untuk menampilkan anak-anak yang tentunya lebih banyak kendalanya di banding remaja. Banyak peran dalam teater yang menampilkan kehadiran anak-anak sebagai tempelan peran sekilas tanpa dialog, atau mengganti peran anak-anak dengan orang dewasa yang berpakaian anak-anak tampaknya semakin mempertegas keengganan para seniman teater untuk memperkenalkan seni teater pada anak-anak. Teater sebenarnya sangat akrab dengan budaya kita namun dengan nama-nama khas daerah seperti lenong, wayang orang, dsb.
>

0 komentar:
Posting Komentar